Kirim Berita Anda Melalui E_mail Kami

ipmadokorwilsesal@gmail.com

Kearifan Lokal Papua yang Semakin Terabaikan

Kamis, Mei 27, 2010


Oleh : Kornelis Kewa Ama

Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.

Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.

“Tidak hanya masyarakat pedalaman, tetapi para pejabat dan kaum intelektual pun memiliki noken (tas) untuk menyimpan buku dan barang kebutuhan lain,” papar Kosay beberapa waktu lalu.

Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 – 100.000 per buah.

Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.

Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.

Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.

Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.

Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.

Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.

Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.

Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.

Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.

Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.

Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol “keterbelakangan”. Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.

Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau sebaliknya.

Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.

Sumber : Kompas.com/http://budayapapua.wordpress.com/2009/07/08/kearifan-lokal-papua-yang-terabaikan/#more-216
BACA TRUZZ... - Kearifan Lokal Papua yang Semakin Terabaikan

GURU ADALAH JANTUNG SEKOLAH

Selasa, Mei 25, 2010


Bapak Dr.Fasli Jalal,Ph.D, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas sedang berbincang-bincang dengan salah seorang guru SD dari Pedalaman Yahukimo sesaat setelah membuka pelatihan Guru CPN SD dan PNS Kabupaten Yahukimo serta para Tutor dan Calon Fasilitator Desa Intensif (FDI) Se Kabupaten Pegunungan Tengah Papua yang berlangsung selama 5 hari mulai tanggal 24-29 April 2006 di Wamena

Dalam Upaya peningkatan mutu pendidikan di Papua, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas telah mengadakan pelatihan bagi Guru CPN SD dan PNS Kabupaten Yahukimo serta para Tutor dan FDI dari beberapa kabupaten di pegunungan tengah Papua yaitu Kabupaten Yahukimo, Jayawijaya, Tolikara dan Punjakjaya beberapa waktu lalu di Wamena.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh Ditjen PMPTK dan PLS Depdiknas Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Propinsi Papua dan Kabupaten Yahukimo, dengan mendatangkan para pakar dan Dosen dari beberapa Universitas ternama di Indonesia antara lain Prof.Maaruf Akbar, Ketua Program Study PLS Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, Dr.Usman Shihab,Guru Besar Universitas Negeri Islam Jakarta, Dr.Iwan Pranoto, Dosen Pasca Sarjana FMIPA ITB Bandung, Ir.Budi Pradsojo,M.Sc Pengajar Calon Peserta Olimpiade di Jakarta, Ibu Rusyah Guru SD Wonosobo dan juga sebagai salah satu konsultan di UNICEP Jakarta, Dra.Maria Heny Pratiknyo,MA Ketua Jurusan Antropologi Universitas Samratulangi Manodo,Drs.Ponco Sudaryanto,M.Sc,Widyaswara
LPMP Papua.

Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan bahwa guru adalah jantung dari sebuah sekolah. Sekolah tanpa guru proses kegiatan belajar mengajar akan lumpuh total, dan sebaliknya sekolah memiliki guru dengan fasilitas sekolah yang memadai tetapi kemampuan untuk memanfaatkan fasilitas dan tidak mampu mempraktekkan kepada siswa didiknya atau tidak profesional maka akan sangat mempengaruhi mutu pendidikan itu sendiri. Guru yang kreatif dan profesional dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Papua sebagai alat/bahan pembelanjaran di sekolah, dan siswa akan lebih mudah dan cepat mengerti dan memahaminya.

Di beberapa daerah pedalaman di Indonesia termasuk Papua, banyak siswa yang sudah lulus SD masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Untuk itu diharapkan kedepan bagi guru-guru yang akan ditempatkan ataupun yang sudah bertugas pada sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah-daerah pedalaman perlu diberi berbagai informasi dan akses pengetahuan terkini yang berkelanjutan misalnya melalui pelatihan tanpa melupakan kesejahteraannya. Pelatihan bagi guru CPNSD,Tutor dan FDI ini sebagai awal dan terus akan ditindaklanjuti oleh Pemerintah melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Papua (LPMP) yang ada dengan memberdayakan KKG,MGMP dan KKS yang ada di setiap Kabupaten di Propinsi Papua serta terus di monotoring dan dievalusi bersama pemerintah daerah kabupaten dan kota. (yanus)
Sumber http://pendidikanpapua.wordpress.com/2010/05/24/guru-adalah-jantung-sekolah/
BACA TRUZZ... - GURU ADALAH JANTUNG SEKOLAH

 
 
 

Pengikut

Daftar Isi